Suatu hari, ketika Ibrahim
Ibn Adham salah seorang ulama sufi besar berkunjung ke kota Basrah, dia mendapat
pengaduan dari masyarakat muslim disana. Mengapa doa mereka selama bertahun-tahun
tidak dikabul-kan oleh Allah? Ibrahim Ibn Adham menjawab :"Hal ini karena
engkau mengakui dan mengingkari sepuluh hal !".
Kemudian Ibrahim Ibn Adham menjelaskan, yang pertama
adalah engkau tahu betul tentang Allah sebagai tuhanmu, tetapi engkau tidak memenuhi
hak-haknya.
Kedua, engkau membaca al Quran tetapi tidak pernah tahu
atau ingin tahu tentang makna yang terkandung didalamnya atau bahkan merekayasa
maknanya untuk kepentingan pribadi.
Ketiga, engkau telah mengetahui bahwa kematian adalah
sebuah keniscayaan tetapi engkau tidak mempersiapkan sama sekali untuk itu.
Keempat, engkau mengaku mencintai Nabimu tetapi engkau
meninggalkan sunnah / contoh perilaku darinya.
Kelima, engkau mengaku memusuhi syaithan tetapi engkau
menyepakati seluruh contoh perilakunya.
Keenam, engkau ingin selamat dari api neraka tetapi
engkau melemparkan dirimu sendiri kedalamnya.
Ketujuh, engkau ingin masuk surga tetapi engkau tidak
sama sekali berbuat untuk mendapatkannya.
Kedelapan engkau selalu mencari kesalahan orang lain
tetapi engkau tidak sama sekali mau melihat kesalahanmu sendiri.
Kesembilan, engkau banyak menikmati anugerah Allah tetapi
engkau tidak pernah bersyukur sedikitpun karenanya.
Kesepuluh, engkau seringkali menguburkan orang-orang
yang meninggal dunia diantara kamu, tetapi engkau tidak sama sekali tidak pernah
mengambil pelajaran darinya.
Dari sepuluh poin yang disampaikan Ibrahim Ibn Adham
ini, kita harus mengambil pelajaran dan mengoreksi diri kita sendiri, adakah kita
berada di antara salah satu dari poin di atas? sehingga doa-doa kita selama ini
seringkali terhenti di kaki langit?
Mungkin di bawah sadar kita, kita seringkali berusaha
melakukan pembelaan-pembelaan atas diri kita. Bahwa kita ini sudah memenuhi dan
menghindari dari sepuluh pengingkaran sebagaimana tersebut diatas.
Namun sadarkah kita, terkadang apa yang kita lakukan
ini masih sebatas kulit luar yang tidak menyentuh substansi yang dikehendaki Allah
? Atas kewajiban yang menjadi hak Allah, seringkali menjadi sebuah bahan untuk
dibanggakan kepada orang lain. Amaliyah kita lebih sering dicampuri oleh maksud-maksud
duniawi yang tidak semestinya.
Bahkan terkadang dengan kemampuan terbatas kita, kita
bahkan lebih sering melakukan gugatan-gugatan atas hak Allah atau bahkan sunnah
Rasulullah dari pada menja-laninya. Yang tanpa sadar dengan mengatasnamakan kebebasan
berfikir, kita tidak pernah berfikir atau merenung, sebenarnya apa yang hendak
kita capai dari sana? Demi kebebasan berfikirkah? Atau hanya sekedar untuk mendapatkan
legitimasi duniawi sebagaimana yang kita jalani selama ini?
Suatu hari seorang teman mengajak sahabatnya untuk
melakukan gerakan uswah hasanah dengan sedikit demi sedikit memperbaiki diri mulai
dari hal-hal yang sepele seperti berpeci. Karena sebuah dakwah haruslah dimulai
dari diri sendiri. Sebagimana maqolah arab Aslih nafsak yuslihu an naas, perbaikilah
dirimu maka manusia (yang lain) akan menjadi baik. Namun sang sahabat ini dengan
halus menolak dengan alasan tidak mau dikungkung formalitas dan merasa tidak kuat
atas konsekwensi yang ditimbulkan dari perilakku sepele itu meski dia tahu bahwa
itu adalah sebuah kebenaran.
Tanpa bermaksud mengadili, tidakkah ini sebuah bukti
bahwa kita ini tanpa sadar disatu sisi melakukan pengakuan kecintaan kepada Rasul
tetapi terhadap sunnahnya yang hanya bersifat formalitas terasa berat rasanya
untuk menjalaninya. Bahkan tak jarang untuk menjalani hal yang sepele seperti
itu kita dihantui oleh hawajiz (bisikan nafsu) yang membisikkan bahwa itu menghambat
jodoh, atau nanti kita tidak dapat bebas bergerak karenanya.
Dari sini, kita mestinya juga berfikir ulang, lho bukannya
pembatasan gerak untuk mengikuti nafsu itu merupakan substansi ajaran Islam juga
? dan bukannya kebebasan bergerak itu mempermudah kita melakukan pembenaran atas
ajakan syetan ? Permasalahannya, terkadang seringkali timbul dalam benak hati
kita ini perasaan yang terlalu yakin bahwa kita ini dekat kepada Allah hanya karena
kuliah di sebuah perguruan tinggi yang berlabel agama. Sehingga atas amaliyah
yang terkesan sepele kita enggan menjalaninya.
Atas segala nikmat Allah yang diberikan kepada kita
selama ini, kitapun terkadang juga tidak pandai mengung-kapkan rasa syukur kita
kepada Allah, atau setidaknya bertanya bagaimana seharusnya saya bersyukur kepada
sang Khaliq atas segala nikmat yang diberikannya ini ?
Ungkapan rasa syukur seringkali kita ungkapkan dengan
bentuk kata-kata. Dengan ucapan hamdalah atau dengan bentuk ungkapan yang lain.
Namun begitu benarkah rasa syukur itu sudah cukup dengan dilafadzkan dari rongga
bibir saja ?
Syeh Jamaluddin Al Dimsyiki mengutip dari pernyataan
Imam Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin, mengung-kapkan bahwa syukur itu merupakan
rangkaian yang terpisahkan antara ilmu, hal dan amal. Hal ini seiring dengan pernyataan
Syeh Abdullah Zaini dalam mukadimah kitab Kifayatul Ashab yang mendefinisikan
syukur adalah perilaku seseorang yang dengan mengacu atas dasar penciptaan manusia
oleh Khaliq sesuai dengan fungsi yang semestinya.
Syeh Jamaluddin kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud
ilmu disini adalah bahwa kita benar-benar mengetahui nikmat yang diberikan Allah
kepada kita. Kemudian yang dimaksud hal adalah rasa bahagia yang terekspresi setelah
mendapatkan kenikmatan itu. Yang terakhir yang sering kita alpa bahwa ini termasuk
bagian yang harus dilakukan dari sebuah rasa syukur adalah amal. Amal ini mencakup
tiga komponen yaitu amalul qolb, jawarih dan lisan.
Amalul qolb, adalah keinginan berbuat baik dan tidak
menampakkannya kepada orang lain. Amalul jawarih adalah mendaya gunakan nikmat
Allah untuk ketaatan dan ketakwaan yang membantu kita menghindari perilaku maksiat.
Amalul lisan adalah ungkapan rasa syukur yang dinampakkan dengan membaca hamdalah.
Dari sini kita menjadi tahu bahwa ungkapan lisan hanyalah
bagian kecil dari rasa syukur dan tidak cukup mewakili atas bagian yang lain dari
komponen ungkapan rasa syukur itu sendiri. Kalau sudah begini sudah pernahkah
kita bersyukur ?
Kalau kita mau memaksakan diri untuk memikirkan perilaku
diri kita selama ini, mungkin terasa tidak pantas dan berimbang antara apa yang
diberikan Allah dengan apa yang kita lakukan untuk memenuhi kewajiban kita kepadanya.
Dari sini hanya pribadi-pribadi kita-lah yang tahu adakah
kita ini merasakan problema yang sama yang dihadapi mus-limin Basrah yang bertanya
kepada Ibra-him Ibn Adham, Mengapa doa kami ter-henti dikaki langit ? Ataukah
kita sudah berhasil mengatasi seluruh problema diatas ? Semoga.
|
Penulis:
Achmad ibn Masduqie |
Kembali
ke atas
|