Bentuk yang Dimungkinkan dalam Berjama'ah
Bentuk-bentuk yang memungkinkan untuk melakukan shalat
berjama'ah itu ada sembilan. Lima bentuk di bawah ini adalah sah, yaitu:
- Orang laki-laki yang ma'mum kepada imam laki-laki.
- Orang perempuan yang ma'mum kepada imam laki-laki.
- Orang banci yang ma'mum kepada imam laki-laki.
- Orang perempuan yang ma'mum kepada imam banci.
- Orang perempuan yang ma'mum kepada imam perempuan.
Sedang yang sisanya empat bentuk adalah tidak sah atau
batal, yaitu:
- Orang laki-laki yang ma'mum kepada imam perempuan. Karena syarat ma'mum itu
adalah hendaknya imamnya tidak lebih berkurang dari pada ma'mumnya sebab kewanitaan
atau kebancian, berdasarkan hadits Ibnu Majah:
لاَ تَؤُمَّنَّ امْرَأَةٌ رَجُلاً
"Janganlah sekali-kali seorang wanita mengimami orang
laki-laki".
- Orang laki-laki yang ma'mum kepada orang yang banci, karena imamnya lebih
berkurang dari pada ma'mumnya.
- Orang banci yang ma'mum kepada orang perempuan. Karena orang perempuan itu
tidak sah menjadi imam terkecuali apabila ma'mumnya nyata-nyata perempuan. Dalam
hal ini Nabi Muhammad saw. bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا
أَمْرَهُمْ إِمْرَأَةً
'Tidak akan bahagia sesuatu kaum yang menyerahkan urusan
mereka kepada orang perempuan".
- Orang banci yang ma'mum kepada orang banci; karena kemungkinan ma' mumnya
adalah banci laki-laki sedang imamnya banci perempuan.
Siapakah yang Berhak Menjadi Imam dalam Shalat Berjama'ah?
Yang berhak menjadi imam bagi suatu kaum dalam shalat
berjama'ah menurut sunnah Nabi Muhammad saw. adalah orang yang paling ahli dalam
memahami ayat-ayat Al-Qur'an dan paling mengerti hukum-hukum fiqih. Hal ini berdasarkan
sabda Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh Abu Mas'ud Al-Badri:
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ
لِكِتَابِ اللهِ وَأَكْثَرُهُمْ قِرَاءَةً.
فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ
هِجْرَةً . فَإِنْ كَانُوْا فِي الْهِجْرَةِ
سَوًاءً فَأَكْبَرُهُمْ سَنًّا .
"Yang boleh mengimami kaum itu adalah orang yang paling
pandai di antara mereka dalam memahami kitab Allah (Al Qur'an) dan yang paling
banyak bacaannya di antara mereka. Jika pemahaman mereka terhadap Al-Qur'an sama,
maka yang paling dahulu di antara mereka hijrahnya ( yang paling dahulu ta'atnya
kepada agama). Jika hijrah (ketaatan) mereka sama, maka yang paling tua umurnya
di antara mereka'.
Sahabat Nabi saw. yang paling banyak memahami kitab Al-Qur'an
adalah orang yang paling banyak pengetahuannya terhadap fiqih. Karena mereka membaca
ayat Al-Qur'an dan mempelajari hukum-hukumnya. Oleh karena shalat itu memerlukan
keabsahan kepada bacaan Al-Qur'an dan fiqih, maka orang yang ahli membaca Al-Qur'an
dan ahli fiqih harus didahuuan daripada selainnya.
Jika salah seorang di antara para ma'mum lebih pandai
membaca Al-Qur'an dan lebih pandai dalam fiqih, maka dia didahulukan dari pada
lainnya.
Jika salah seorang di antara para ma'mum pandai dalam
bidang fiqih, sedang yang lain lebih pandai membaca Al-Qur'an, maka yang lebih
pandai fiqih adalah lebih utama. Karena barangkali dalam shalat tersebut terjadi
sesuatu kejadian yang memerlukan kepada ijtihad.
Jika ada dua orang yang sama pandainya dalam bidang fiqih
dan bacaan Al-Qur'an, dalam hal ini ada dua pendapat:
- Imam Asy-Syafi'i dalam qaul qodim berpendapat: "Yang didahulukan adalah orang
yang lebih mulia kedudukannya dalam masyarakat, lalu orang yang lebih dahulu hijrahnya,
kemudian orang yang lebih tua umurnya; dan inilah pendapat yang lebih kuat.
Orang yang lebih dahulu hijrahnya lebih didahulukan dari
pada orang yang lebih tua umurnya adalah berdasarkan hadits dari Abu Mas'ud Al-Badri.
Tidak ada perbedaan pendapat mengenai orang yang mulia
kedudukannya di masyarakat lebih didahulukan dari pada orang yang lebih dahulu
hijrahnya.
Jika orang yang lebih dahulu hijrahnya lebih didaulukan
dari pada orang yang lebih tua umurnya, maka mendahulukan orang yang lebih mulia
keduduknya di masyarakat daripada orang yang lebih dahulu hijrahnya adalah lebih
utama.
- Dalam qaul jadid Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa orang yang lebih tua
umurnya harus didahulukan, kemudian orang yang lebih mulia kedudukannya di masyarakat,
kemudian orang yang lebih dahulu hijrahnya. Hal ini berdasarkan riwayat Malik
bin Huwairits bahwa Nabi Muhammad saw. telah bersabda:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ
أُصَلِّي وَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ
وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ .
"Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu sekalian
melihat aku melakukan shalat. Hendaklah salah seorang dari kamu melakukan adzan
untuk kamu sekalian, dan hendaklah orang yang paling tua di antara kamu mengimami
kamu sekalian".
Mendahulukan orang yang umurnya lebih tua, adalah karena
orang yang lebih tua itu lebih khusyu' dalam shalat, sehingga lebih utama.
Umur yang berhak untuk didahulukan menjadi imam adalah
umur dalam masuk agama Islam. Adapun jika seseorang menjadi tua dalam kekafiran,
kemudian masuk Islam, maka tidak didahulukan atas pemuda yang tumbuh dalam Islam.
Orang mulia yang berhak untuk didahulukan adalah apabila
orang tersebut dari golongan Quraisy.
Yang dimaksud dengan hijrah di sini adalah dari orang
yang berhijrah dari Makkah kepada Rasulullah saw., atau dari anak cucu mereka.
Apabila ada dua orang yang sama dalam ketentuan-ketentuan
tersebut, maka sebagian dari para ulama' terdahulu berpendapat bahwa yang didahulukan
adalah orang yang paling baik di antara mereka. Di antara para pendukung madzhab
Syafi'i ada orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang yang paling
baik tersebut adalah orang yang paling baik rupanya.
Di antara mereka ada orang yang berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan orang yang paling di sini adalah orang yang paling baik sebutannya
di masyarakat.
Jika orang-orang yang berhak menjadi imam yang telah disebutkan
di atas berkumpul dengan pemilik rumah, maka pemilik rumah adalah lebih utama
menjadi imam daripada mereka. Hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari
Abu Mas'ud Al-Badri bahwa Nabi Besar Muhammad saw. bersabda:
لاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ
فِي أَهْلِهِ وَلاَ سُلْطَانِهِ وَلاَ يَجْلِسْ
عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ.
"Janganlah sekali-kali seseorang laki-laki mengimami
orang laki-laki lain pada keluarga laki-laki lain tersebut dan janganlah seseorang
laki-laki duduk pada tempat duduk yang khusus bagi laki-laki lain, kecuali dengan
izinnya".
Jika datang pemilik rumah dan orang yang menyewa rumah
tersebut, maka penyewa rumah lebih utama untuk menjadi imam. Karena penyewa rumah
lebih berhak mempergunakan manfaat-manfaat dari rumah tersebut.
Jika datang pemilik budak belian dan budak belian dalam
sebuah rumah yang dibangunkan oleh majikan (pemilik budak) untuk tempat tinggal
budak tersebut, maka sang majikan lebih utama untuk menjadi imam. Karena majikan
tersebut adalah pemilik rumah tersebut pada hakikatnya, bukan si budak belian.
Jika berkumpul selain majikan dan budak dalam rumah budak
tersebut, maka si budak lebih utama menjadi imam. Karena budak tersebut lebih
berhak dalam mengatur rumah tersebut.
Jika orang-orang tersebut di atas berkumpul di masjid
bersama imam masjid, maka imam masjid tersebut adalah lebih utama menjadi imam.
Karena telah diriwayatkan bahwa Abdullah Umar mempunyai budak yang shalat dalam
masjid, kemudian Ibnu Umar datang dan budaknya meminta beliau berdiri di depan
sebagai imam. Ibnu Umar ra berkata: "Engkau lebih berhak menjadi imam di masjidmu!"
Jika imam dari orang-orang muslim berkumpul dengan pemilik
rumah atau dengan imam masjid, maka imam dari orang-orang muslim tersebut adalah
lebih utama, karena kekuasaannya adalah bersifat umum dan karena dia adalah pemimpin
sedang orang-orang tersebut adalah orang-orang yang dipimpin; sehingga mendahulukan
pemimpin adalah lebih utama.
Jika berkumpul orang musafir dan orang mukim, maka orang
yang mukim adalah lebih utama. Karena sesungguhnya jiika orang mukim menjadi imam,
maka seluruhnya menyempurnakan shalat sehingga mereka tidak berbeda. Dan jika
orang musafir yang menjadi imam, maka mereka berbeda-beda dalam jumlah rakaat.
Jika orang merdeka berkumpul dengan budak belian, maka
orang merdeka lebih utama. Karena menjadi imam itu adalah tempat kesempurnaan,
sedangkan orang merdeka itu adalah yang lebih sempurna.
Jika orang yang adil dan orang yang fasik berkumpul, maka
orang yang adil adalah lebih diutamakan, karena dia lebih utama.
Jika anak zina berkumpul dengan lainnya, maka lainnya
adalah lebih utama. Sayyidina Umar ra. dan Mujahid menganggap makruh anak zina
menjadi imam, sehingga selain anak zina adalah lebih utama dari pada anak zina.
Jika berkumpul orang yang dapat melihat dengan orang yang
buta, maka menurut ketentuan nas dalam hal menjadi imam adalah bahwa kedua orang
tesebut sama. Sebab orang yang buta itu mempunyai kelebihan karena dia tidak melihat
hal-hal yang dapat melengahkannya. Sedang orang yang dapat melihat juga memiliki
kelebihan, yaitu dapat menjauhkan diri dari najis.
Abu Ishaq Al-Maruzi berpendapat bahwa orang yang buta
lebih utama. Sedangkan menurut Abu Ishaq As-Syairozi orang yang dapat melihat
adalah lebih utama. Karena dia dapat menjauhi barang najis yang dapat merusak
shalat. Sedang orang yang buta dapat meninggalkan memandang kepada hal-hal yang
dapat melengahkannya; dan hal tersebut tidak merusak shalat.
|